Friday, 12 November 2010
at
05:35
|
0
comments
Bila tatanan dan nilai-nilai kearifan dalam kehidupan masyarakat Indonesia dirusak dan hendak diseragamkan menjadi nilai-nilai yang imaginer demokratis , maka sebenarnya kita sedang digiring menuju ruang-ruang yang penuh simbol absurditas. Sehingga akhirnya rasa solidaritas kitapun akan hancur , dan peradaban kitapun terancam “punah” .
Di-lingkungan masyarakat di perkotaan yang lebih mengenal tehnologi modern dari “peradaban-global” di negara-negara yang lebih maju , maupun kepada masyarakat pedesaan dan diluar perkotaan yang masih relatif tertinggal dalam memahami perkembangan tehnologi dan sistim informasi .
Seperti yang sering saya tulis di-artikel saya sebelumnya , bahwa telah terjadi “pembiaran-pembiaran” pelanggaran pada norma-norma yang telah disepakati (oleh masyarakat Indonesia) sebelumnya .
Pembiaran-pembiaran tersebut bersandarkan pada azas “DEMOKRASI liberal” , yang memberikan pilihan bebas menentukan layaknya “multiple-choice” , kepada dinamika sosial masyarakat dan dibiarkan lepas berkembang dengan sendirinya secara alami .
Seperti apakah gerangan lebih jelasnya ?
Dari kacamata budaya , tampak dengan jelas bahwa hal tersebut bukanlah sebuah pola tanpa rencana , bukan pula keniscayaan yang selalu di-gembar-gemborkan atas nama sebuah “Perubahan” menuju peradaban yang lebih maju . Namun jelas sebuah “strategi jahat” yang dirancang dengan seksama untuk diterapkan ditengah kondisi masyarakat yang dengan mudah akan terpecah-pecah dengan sendirinya.
Sebab SOLIDARITAS satu-satunya kekuatan yang dapat menyatukan dan menjadi perekat bagi simpul-simpul berbangsa di Indonesia , tengah dirobek-robek dan dikoyak-koyak keberadaannya.
Seperti apakah gerangan lebih jelasnya?
Ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada kondisi “darurat emergensi” untuk sibuk dengan urusan pragmatis , yaitu pangan , sandang dan papan. Maka secara alamiah kita semua “abai” terhadap semua urusan yang bertugas menjaga keutuhan “solidaritas” termaksud. Lebih fatal lagi Bangsa ini juga “lalai” pada sektor Pendidikan serta kebutuhan “darurat segera” melengkapi alat-alat kelengkapan birokrasi Negaranya dibidang “Pengawasan bagi Strategi Kebangsaan” bangsanya itu sendiri .
Seperti apakah gerangan lebih jelasnya?
Terlalu banyak sample-sample atau contoh yang harus dijabarkan satu demi satu , tak akan cukup untuk bisa dituangkan secara gamblang di artikel ini. Namun saya akan mencoba menuliskan sebuah analisa percontohan saja , yang saya anggap bisa mewakili hampir seluruh aplikasi permasalahan besar yang sedang melanda bangsa Indonesia saat ini.
“Alat kontrol dan pengawasan yang memadai disegala bidang.”
Kembali pada tulisan diawal artikel ini , multiple-choice yang diserahkan ke-tengah dinamika sosial masyarakat di-Indonesia , adalah berarti di “buka”nya lebar-lebar pintu bagi peluang masuknya pikiran neo-liberalisme , untuk dengan bebas se-kehendaknya boleh menyusun pola dan strateginya .
Tujuannya hanya satu , yaitu melakukan penetrasi / pengkondisian agar individu-individu orang Indonesia menjadi “mandiri” dalam pengertian selfish individualistik berdasarkan asumsi pembenarannya sendiri-sendiri. Tercabut dari akar “solidaritas” berpikir “SATU” sebagai sesama dan atas nama Bangsa Indonesia .
Contoh Kasus 1 dari 1000 persoalan yang ada ,
Konon beredar kabar burung yang sudah tersiar semenjak lama , bahwa Narkoba hasil sitaan aparat Kepolisian kembali ber-edar pula dipasar-pasar gelap “bebas” seperti saat-saat sebelumnya. Tentu saja ini bukan “tudingan” sembarangan atau fitnah ataupun bahkan “pencemaran nama baik” yang bisa dijerat oleh HUKUM , sesuai pasal “Hatzai Artikelen” nya kaum penjajah VOC dijaman dulu. (perbuatan tidak menyenangkan) yang semena-mena . Sebab Berita Kepada Kawan..eh maaf..”berita burung” (maksud saya) ini sudah menjadi rahasia yang terbuka bagi umum , nyatanya.
Untuk menangkal dan menangkis tudingan issue-issue negatif tersebut , maka aparat Kepolisianpun sergap melakukan berbagai penyuluhan hingga penggerbekan-penggerbekan ditempat-tempat yang dicurigai sebagai sarang narkoba dan sebagainya. Media informasipun dilibatkan untuk turut memberitakan berbagai kejadian-kejadian “heboh” yang melibatkan nama-nama pesohor penikmat narkoba Indonesia . Umumnya “mereka” yang mudah dijadikan issue populer alias terkenal , hingga gaungnya bisa merata keseluruh pelosok tanah air . (sekaligus menjadi berita bagi komoditi suply / demand-nya industri liberal itu sendiri)
Namun fakta obyektif yang terjadi ditengah masyarakat itu sendiri adalah : semakin lazim dan banyaknya kita menemukan realitas pengguna narkoba-narkoba baru yang lainnya , ditambah lagi dengan terkuaknya kedok “oknum-oknum” aparat / kepolisian itu sendiri yang terlibat didalam sistim peredaran Narkoba di Indonesia.
Analogi sederhana akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang tertumbuk pada dinding-dinding dan tembok “misteri” .
“Apakah sebenarnya” makna dari berita-berita penggerbekan / penangkapan tersebut ? . Mengapa saya dengan “jumawa” bisa mengatakan ini adalah salah satu “strategi iblis dan setan” untuk menciptakan opini-opini pembenaran yang subyektif dari individu-indivuidu yang individualistik ? (agar sistim perusakan tidak terganggu dan terus berjalan)
Saya juga akan bertanya : “Apakah ada” alat kontrol untuk mengawasi lembaga kepolisian kita , selain HUKUM formal kitab Undang-Undang yang hanya berbunyi jika dibaca. “Apakah ada” alat kontrol untuk mengawasi kebebasan pers yang “demokratis” , bila ada kepentingan “imperialisme” yang terselubung dibaliknya?
Semuanya diserahkan kepada “dinamika sosial” yang berkembang dengan sendirinya ditengah masyarakat. Dinamika sosial yang sebenarnya sekedar “mempermainkan” bangsa dan masyarakat Indonesia , agar semakin mudah “terpecah” dan bisa ter-fragmentasi menjadi titik-titik yang terlepas dan berdiri sendiri-sendiri . Tanpa KOHESI dan kehilangan inter-dependensi-nya .
Setelah “firm” , bahwa tak ada lagi kekuatan yang bisa ditimbulkan secara massive dari semangat solidaritas atas sesama kepada sesama bangsa Indonesia yang lainnya. Disanalah nanti ancaman bagi resources semua sumber daya alam kekayaan bangsa ini bisa mutlak dikuasai oleh mereka . Sebab para penunggu-penunggu yang menjaganya sudah terpecah-pecah , ter-fragmentasi alias bisa dibeli.
Buku Ilmu Sosial Dasar Karya Effendi Wahyono dkk
Di-lingkungan masyarakat di perkotaan yang lebih mengenal tehnologi modern dari “peradaban-global” di negara-negara yang lebih maju , maupun kepada masyarakat pedesaan dan diluar perkotaan yang masih relatif tertinggal dalam memahami perkembangan tehnologi dan sistim informasi .
Seperti yang sering saya tulis di-artikel saya sebelumnya , bahwa telah terjadi “pembiaran-pembiaran” pelanggaran pada norma-norma yang telah disepakati (oleh masyarakat Indonesia) sebelumnya .
Pembiaran-pembiaran tersebut bersandarkan pada azas “DEMOKRASI liberal” , yang memberikan pilihan bebas menentukan layaknya “multiple-choice” , kepada dinamika sosial masyarakat dan dibiarkan lepas berkembang dengan sendirinya secara alami .
Seperti apakah gerangan lebih jelasnya ?
Dari kacamata budaya , tampak dengan jelas bahwa hal tersebut bukanlah sebuah pola tanpa rencana , bukan pula keniscayaan yang selalu di-gembar-gemborkan atas nama sebuah “Perubahan” menuju peradaban yang lebih maju . Namun jelas sebuah “strategi jahat” yang dirancang dengan seksama untuk diterapkan ditengah kondisi masyarakat yang dengan mudah akan terpecah-pecah dengan sendirinya.
Sebab SOLIDARITAS satu-satunya kekuatan yang dapat menyatukan dan menjadi perekat bagi simpul-simpul berbangsa di Indonesia , tengah dirobek-robek dan dikoyak-koyak keberadaannya.
Seperti apakah gerangan lebih jelasnya?
Ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada kondisi “darurat emergensi” untuk sibuk dengan urusan pragmatis , yaitu pangan , sandang dan papan. Maka secara alamiah kita semua “abai” terhadap semua urusan yang bertugas menjaga keutuhan “solidaritas” termaksud. Lebih fatal lagi Bangsa ini juga “lalai” pada sektor Pendidikan serta kebutuhan “darurat segera” melengkapi alat-alat kelengkapan birokrasi Negaranya dibidang “Pengawasan bagi Strategi Kebangsaan” bangsanya itu sendiri .
Seperti apakah gerangan lebih jelasnya?
Terlalu banyak sample-sample atau contoh yang harus dijabarkan satu demi satu , tak akan cukup untuk bisa dituangkan secara gamblang di artikel ini. Namun saya akan mencoba menuliskan sebuah analisa percontohan saja , yang saya anggap bisa mewakili hampir seluruh aplikasi permasalahan besar yang sedang melanda bangsa Indonesia saat ini.
“Alat kontrol dan pengawasan yang memadai disegala bidang.”
Kembali pada tulisan diawal artikel ini , multiple-choice yang diserahkan ke-tengah dinamika sosial masyarakat di-Indonesia , adalah berarti di “buka”nya lebar-lebar pintu bagi peluang masuknya pikiran neo-liberalisme , untuk dengan bebas se-kehendaknya boleh menyusun pola dan strateginya .
Tujuannya hanya satu , yaitu melakukan penetrasi / pengkondisian agar individu-individu orang Indonesia menjadi “mandiri” dalam pengertian selfish individualistik berdasarkan asumsi pembenarannya sendiri-sendiri. Tercabut dari akar “solidaritas” berpikir “SATU” sebagai sesama dan atas nama Bangsa Indonesia .
Contoh Kasus 1 dari 1000 persoalan yang ada ,
Konon beredar kabar burung yang sudah tersiar semenjak lama , bahwa Narkoba hasil sitaan aparat Kepolisian kembali ber-edar pula dipasar-pasar gelap “bebas” seperti saat-saat sebelumnya. Tentu saja ini bukan “tudingan” sembarangan atau fitnah ataupun bahkan “pencemaran nama baik” yang bisa dijerat oleh HUKUM , sesuai pasal “Hatzai Artikelen” nya kaum penjajah VOC dijaman dulu. (perbuatan tidak menyenangkan) yang semena-mena . Sebab Berita Kepada Kawan..eh maaf..”berita burung” (maksud saya) ini sudah menjadi rahasia yang terbuka bagi umum , nyatanya.
Untuk menangkal dan menangkis tudingan issue-issue negatif tersebut , maka aparat Kepolisianpun sergap melakukan berbagai penyuluhan hingga penggerbekan-penggerbekan ditempat-tempat yang dicurigai sebagai sarang narkoba dan sebagainya. Media informasipun dilibatkan untuk turut memberitakan berbagai kejadian-kejadian “heboh” yang melibatkan nama-nama pesohor penikmat narkoba Indonesia . Umumnya “mereka” yang mudah dijadikan issue populer alias terkenal , hingga gaungnya bisa merata keseluruh pelosok tanah air . (sekaligus menjadi berita bagi komoditi suply / demand-nya industri liberal itu sendiri)
Namun fakta obyektif yang terjadi ditengah masyarakat itu sendiri adalah : semakin lazim dan banyaknya kita menemukan realitas pengguna narkoba-narkoba baru yang lainnya , ditambah lagi dengan terkuaknya kedok “oknum-oknum” aparat / kepolisian itu sendiri yang terlibat didalam sistim peredaran Narkoba di Indonesia.
Analogi sederhana akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang tertumbuk pada dinding-dinding dan tembok “misteri” .
“Apakah sebenarnya” makna dari berita-berita penggerbekan / penangkapan tersebut ? . Mengapa saya dengan “jumawa” bisa mengatakan ini adalah salah satu “strategi iblis dan setan” untuk menciptakan opini-opini pembenaran yang subyektif dari individu-indivuidu yang individualistik ? (agar sistim perusakan tidak terganggu dan terus berjalan)
Saya juga akan bertanya : “Apakah ada” alat kontrol untuk mengawasi lembaga kepolisian kita , selain HUKUM formal kitab Undang-Undang yang hanya berbunyi jika dibaca. “Apakah ada” alat kontrol untuk mengawasi kebebasan pers yang “demokratis” , bila ada kepentingan “imperialisme” yang terselubung dibaliknya?
Semuanya diserahkan kepada “dinamika sosial” yang berkembang dengan sendirinya ditengah masyarakat. Dinamika sosial yang sebenarnya sekedar “mempermainkan” bangsa dan masyarakat Indonesia , agar semakin mudah “terpecah” dan bisa ter-fragmentasi menjadi titik-titik yang terlepas dan berdiri sendiri-sendiri . Tanpa KOHESI dan kehilangan inter-dependensi-nya .
Setelah “firm” , bahwa tak ada lagi kekuatan yang bisa ditimbulkan secara massive dari semangat solidaritas atas sesama kepada sesama bangsa Indonesia yang lainnya. Disanalah nanti ancaman bagi resources semua sumber daya alam kekayaan bangsa ini bisa mutlak dikuasai oleh mereka . Sebab para penunggu-penunggu yang menjaganya sudah terpecah-pecah , ter-fragmentasi alias bisa dibeli.
Buku Ilmu Sosial Dasar Karya Effendi Wahyono dkk
Posted by
Nurhadi Prabowo