Bila tatanan dan nilai-nilai kearifan dalam kehidupan masyarakat Indonesia dirusak dan hendak diseragamkan menjadi nilai-nilai yang imaginer demokratis , maka sebenarnya kita sedang digiring menuju ruang-ruang yang penuh simbol absurditas. Sehingga akhirnya rasa solidaritas kitapun akan hancur , dan peradaban kitapun terancam “punah” .
Di-lingkungan masyarakat di perkotaan yang lebih mengenal tehnologi modern dari “peradaban-global” di negara-negara yang lebih maju , maupun kepada masyarakat pedesaan dan diluar perkotaan yang masih relatif tertinggal dalam memahami perkembangan tehnologi dan sistim informasi .
Seperti yang sering saya tulis di-artikel saya sebelumnya , bahwa telah terjadi “pembiaran-pembiaran” pelanggaran pada norma-norma yang telah disepakati (oleh masyarakat Indonesia) sebelumnya .
Pembiaran-pembiaran tersebut bersandarkan pada azas “DEMOKRASI liberal” , yang memberikan pilihan bebas menentukan layaknya “multiple-choice” , kepada dinamika sosial masyarakat dan dibiarkan lepas berkembang dengan sendirinya secara alami .
Seperti apakah gerangan lebih jelasnya ?
Dari kacamata budaya , tampak dengan jelas bahwa hal tersebut bukanlah sebuah pola tanpa rencana , bukan pula keniscayaan yang selalu di-gembar-gemborkan atas nama sebuah “Perubahan” menuju peradaban yang lebih maju . Namun jelas sebuah “strategi jahat” yang dirancang dengan seksama untuk diterapkan ditengah kondisi masyarakat yang dengan mudah akan terpecah-pecah dengan sendirinya.
Sebab SOLIDARITAS satu-satunya kekuatan yang dapat menyatukan dan menjadi perekat bagi simpul-simpul berbangsa di Indonesia , tengah dirobek-robek dan dikoyak-koyak keberadaannya.
Seperti apakah gerangan lebih jelasnya?
Ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada kondisi “darurat emergensi” untuk sibuk dengan urusan pragmatis , yaitu pangan , sandang dan papan. Maka secara alamiah kita semua “abai” terhadap semua urusan yang bertugas menjaga keutuhan “solidaritas” termaksud. Lebih fatal lagi Bangsa ini juga “lalai” pada sektor Pendidikan serta kebutuhan “darurat segera” melengkapi alat-alat kelengkapan birokrasi Negaranya dibidang “Pengawasan bagi Strategi Kebangsaan” bangsanya itu sendiri .
Seperti apakah gerangan lebih jelasnya?
Terlalu banyak sample-sample atau contoh yang harus dijabarkan satu demi satu , tak akan cukup untuk bisa dituangkan secara gamblang di artikel ini. Namun saya akan mencoba menuliskan sebuah analisa percontohan saja , yang saya anggap bisa mewakili hampir seluruh aplikasi permasalahan besar yang sedang melanda bangsa Indonesia saat ini.
“Alat kontrol dan pengawasan yang memadai disegala bidang.”
Kembali pada tulisan diawal artikel ini , multiple-choice yang diserahkan ke-tengah dinamika sosial masyarakat di-Indonesia , adalah berarti di “buka”nya lebar-lebar pintu bagi peluang masuknya pikiran neo-liberalisme , untuk dengan bebas se-kehendaknya boleh menyusun pola dan strateginya .
Tujuannya hanya satu , yaitu melakukan penetrasi / pengkondisian agar individu-individu orang Indonesia menjadi “mandiri” dalam pengertian selfish individualistik berdasarkan asumsi pembenarannya sendiri-sendiri. Tercabut dari akar “solidaritas” berpikir “SATU” sebagai sesama dan atas nama Bangsa Indonesia .
Contoh Kasus 1 dari 1000 persoalan yang ada ,
Konon beredar kabar burung yang sudah tersiar semenjak lama , bahwa Narkoba hasil sitaan aparat Kepolisian kembali ber-edar pula dipasar-pasar gelap “bebas” seperti saat-saat sebelumnya. Tentu saja ini bukan “tudingan” sembarangan atau fitnah ataupun bahkan “pencemaran nama baik” yang bisa dijerat oleh HUKUM , sesuai pasal “Hatzai Artikelen” nya kaum penjajah VOC dijaman dulu. (perbuatan tidak menyenangkan) yang semena-mena . Sebab Berita Kepada Kawan..eh maaf..”berita burung” (maksud saya) ini sudah menjadi rahasia yang terbuka bagi umum , nyatanya.
Untuk menangkal dan menangkis tudingan issue-issue negatif tersebut , maka aparat Kepolisianpun sergap melakukan berbagai penyuluhan hingga penggerbekan-penggerbekan ditempat-tempat yang dicurigai sebagai sarang narkoba dan sebagainya. Media informasipun dilibatkan untuk turut memberitakan berbagai kejadian-kejadian “heboh” yang melibatkan nama-nama pesohor penikmat narkoba Indonesia . Umumnya “mereka” yang mudah dijadikan issue populer alias terkenal , hingga gaungnya bisa merata keseluruh pelosok tanah air . (sekaligus menjadi berita bagi komoditi suply / demand-nya industri liberal itu sendiri)
Namun fakta obyektif yang terjadi ditengah masyarakat itu sendiri adalah : semakin lazim dan banyaknya kita menemukan realitas pengguna narkoba-narkoba baru yang lainnya , ditambah lagi dengan terkuaknya kedok “oknum-oknum” aparat / kepolisian itu sendiri yang terlibat didalam sistim peredaran Narkoba di Indonesia.
Analogi sederhana akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang tertumbuk pada dinding-dinding dan tembok “misteri” .
“Apakah sebenarnya” makna dari berita-berita penggerbekan / penangkapan tersebut ? . Mengapa saya dengan “jumawa” bisa mengatakan ini adalah salah satu “strategi iblis dan setan” untuk menciptakan opini-opini pembenaran yang subyektif dari individu-indivuidu yang individualistik ? (agar sistim perusakan tidak terganggu dan terus berjalan)
Saya juga akan bertanya : “Apakah ada” alat kontrol untuk mengawasi lembaga kepolisian kita , selain HUKUM formal kitab Undang-Undang yang hanya berbunyi jika dibaca. “Apakah ada” alat kontrol untuk mengawasi kebebasan pers yang “demokratis” , bila ada kepentingan “imperialisme” yang terselubung dibaliknya?
Semuanya diserahkan kepada “dinamika sosial” yang berkembang dengan sendirinya ditengah masyarakat. Dinamika sosial yang sebenarnya sekedar “mempermainkan” bangsa dan masyarakat Indonesia , agar semakin mudah “terpecah” dan bisa ter-fragmentasi menjadi titik-titik yang terlepas dan berdiri sendiri-sendiri . Tanpa KOHESI dan kehilangan inter-dependensi-nya .
Setelah “firm” , bahwa tak ada lagi kekuatan yang bisa ditimbulkan secara massive dari semangat solidaritas atas sesama kepada sesama bangsa Indonesia yang lainnya. Disanalah nanti ancaman bagi resources semua sumber daya alam kekayaan bangsa ini bisa mutlak dikuasai oleh mereka . Sebab para penunggu-penunggu yang menjaganya sudah terpecah-pecah , ter-fragmentasi alias bisa dibeli.

Buku Ilmu Sosial Dasar Karya Effendi Wahyono dkk
Posted by Nurhadi Prabowo

(M Hatta Rajasa) Mengatasi Kemiskinan di Indonesia melaluhi Dinamisasi Nexus Pertumbuhan Ekonomi dan Perluasan Lapangan Kerja. Kemiskinan adalah sebuah penyakit sosial yang lazim dialami oleh setiap negara yang melaksanakan program pembangunannya. Meskipun telah sering diulas, namun pemahaman tentang kemiskinan sendiri sering diartikulasikan dalam beberapa pengertian dan ukuran kemiskinanpun juga beraneka ragam. Namun, satu hal yang jelas esensi kemiskinan adalah menyangkut kondisi kekurangan (deprivation) dari sebuah tuntutan kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek konsumsi dan pendapatan (income). Walaupun sering diasosiasikan sebagai masalah bagi negara-negara berkembang, namun sebenarnya kemiskinan juga telah pernah dialami oleh negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Negara Inggris pernah mengalami kemiskinan-nasional di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.

Amerika Serikat sebagai negara maju juga pernah dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa resesi ekonomi tahun 1930-an. Bahkan, tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan, Amerika Serikat juga telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau 1/6 dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Bank Dunia (World Bank) mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dari perspektif akses dari individu terhadap sejumlah aset yang penting dalam menunjang kehidupan, yakni aset dasar kehidupan (misalnya kesehatan dan ketrampilan/pengetahuan), aset alam (misalnya tanah pertanian atau lahan olahan), aset fisik (misalnya modal, sarana produksi dan infrastruktur), aset keuangan (misalnya kredit bank dan pinjaman lainnya) dan aset sosial (misalnya jaminan sosial dan hak-hak politik). Ketiadaan akses dari satu atau lebih dari aset-aset diatas adalah penyebab seseorang jatuh terjerembab kedalam kemiskinan.
Dari perspektif lapangan kerja, maka gambaran umum solusi masalah kemiskinan adalah dengan membuka akses bagi individu pada seluruh sumber daya diatas. Misalnya, dengan memberikan akses bagi individu miskin pada ketersediaan lahan olahan ditambah dengan skema pinjaman yang menarik dan ketersediaan infrastruktur yang diperlukan, akan memungkinkan individu miskin tersebut untuk meningkatkan produktifitasnya sehingga dalam waktu tertentu dapat diharapkan individu miskin tersebut akan sanggup memenuhi kebutuhannya yang pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidupanya.
Namun selain membuka akses yang ada diatas, masih diperlukan satu langkah penting lainnya untuk menyelesaikan kemiskinan, yaitu dengan memberikan jaminan sosial kepada individu tertentu yang berhadapan dengan segenap keterbatasan misalnya orang-orang cacat dan lanjut usia.
Terdapat beberapa Konsep yang diajukan oleh CIDES (Center For Information and Development Studies) :
Terdapat banyak pengertian tentang kemiskinan. Dari sejumlah literatur yang ada, maka secara umum kemiskinan dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Dari ketiga sudut pandang tersebut, penulis akan memfokuskan pada kemiskinan absolut. Hal tersebut adalah sehubungan karena kemiskinan absolut adalah kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan suatu keluarga dalam membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan taraf hidup kemanusiaan yang paling rendah.
Pada prinsipnya, pemerintah dalam program pembangunannya telah menjadikan kemiskinan sebagai salah satu fokus utamanya. Program umum Presiden RI yang sering disebut dengan triple track mencakup pro poor, pro growth dan pro employment atau program pembangunan yang berfokus pada pengentasan kemiskinan, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan kerja. Seiring dengan program tersebut, pemikiran yang akan dikembangkan pada makalah ini adalah upaya mengatasi masalah kemiskinan dari perspektif perluasan lapangan kerja.
Dalam kaitan ini maka diproyeksikan bahwa melalui ketersediaan lapangan kerja yang memadai maka akan dapat diupayakan peningkatan penghasilan bagi masyarakat yang dengan sendirinya akan mengentaskan masalah kemiskinan, namun hal tersebut tentunya harus dilakukan dengan memperhitungkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Sehingga konsep umum ini berlandaskan pada sebuah nexus atau hubungan keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketersediaan lapangan kerja dan dengan kemiskinan itu sendiri, atau dapat digambarkan secara skematis pada gambar 1 (diberikan pada halaman berikut).
Dalam kondisi ideal, maka peningkatan pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan perluasan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun pada setiap mata rantai A, B dan C (pada gambar 1) dapat terjadi sejumlah masalah-masalah yang menyebabkan tidak berhasilnya diperoleh kondisi ideal yang diharapkan.
.Sebagai contoh, ada banyak kasus dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rantai B) tidak diikuti dengan pengurangan kemiskinan, sebuah kasus yang pernah terjadi di negara-negara Amerika Latin (Columbia dan Venezuela). Demikian pula dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tidak lantas memperluas lapangan kerja (rantai A), sebuah kasus yang pernah terjadi di Korea Selatan di tahun ’80 an. Atau kasus dimana tersedia lapangan kerja yang luas akan tetapi pertumbuhan ekonomi tetap rendah (rantai A), kasus yang khas sering terjadi di negara-negara sosialis blok Soviet di era perang dingin. Adapun contoh kasus pada rantai C adalah ketika tersedia lapangan kerja yang luas akan tetapi tidak dibarengi dengan upah yang memadai (appropriate wages) atau negara tersebut tidak sanggup mendisain struktur upah yang baik, sehingga pada akhirnya tetap mengalami masalah kemiskinan, contoh kasus ini adalah yang terjadi di Bangladesh dan sejumlah negara miskin di Afrika.
Pertumbuhan ekonomi diletakkan pada posisi puncak pada “segitiga” di gambar 1 adalah karena landasan filosofis dalam mengatasi masalah kemiskinan harus bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang memadai maka lapangan kerja yang tersedia tidak akan cukup atau bisa jadi tersedia lapangan kerja yang luas namun tidak sanggup untuk menyediakan tatanan upah yang memadai sehingga tetap tidak sanggup mengatasi masalah kemiskinan (kasus di negara-negara sosialis era Soviet adalah contoh yang paling ekstrem untuk masalah ini).
Namun sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga tidak dengan sendirinya akan menyediakan lapangan kerja yang berkualitas dan langsung menyelesaikan masalah kemiskinan. Ada beberapa faktor yang perlu menjadi catatan dalam hal ini sebagai berikut.
1) Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang oleh sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan kerja rendah, tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya memberikan pemihakan pada sektor sektor tertentu sehingga mempersempit peluang berkembangnya sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya jenis lapangan kerja yang tersedia. Kasus di Filipina dan Brazil mencerminkan kondisi ini, dimana kedua negara tersebut memperoleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui pembangunan sejumlah industri padat modal dan memberikan prioritas pada sektor-sektor padat modal.
2) Pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun ditopang oleh keberadaan industri milik negara yang memperoleh sejumlah proteksi tertentu juga tidak menjamin akan dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Kasus di Cina tahun ’90 an adalah contoh dimana sejumlah BUMN yang berkembang pesat, ketika dilakukan proses privatisasi ternyata mengakibatkan terjadinya sejumlah pengangguran, karena ketidakmampuan perusahaan tersebut bersaing tanpa memperoleh proteksi.
3) Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang oleh industri canggih juga berpotensi untuk memperparah masalah kemiskinan dan pengangguran. Kasus ini pernah terjadi di Korea Selatan di awal tahun ’80 an dan Amerika Serikat tahun ’70 an. Kemajuan teknologi yang sangat cepat telah membuat negara tersebut maju pesat dengan ditulang punggungi oleh industri yang membutuhkan tenaga kerja berketrampilan tinggi (high skilled labour) sehingga sejumlah besar dari tenaga kerja dengan ketrampilan rendah tidak dapat memperoleh akses pada lapangan kerja.
4) Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan tetapi dengan ditunjang oleh kekuatan ekonomi yang bersifat terkonsentrasi juga tidak akan sanggup mengatasi masalah kemiskinan. Kasus di Bangladesh adalah contoh dimana pertumbuhan ekonominya ditopang oleh kekuatan modal dan tanah (land and capital) milik kelompok tertentu, pada akhirnya malah menghasilkan kelompok pekerja yang miskin (working poor) yakni sekelompok masyarakat yang bekerja akan tetapi hidupnya miskin.
Secara umum, kebijakan yang dirancang untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia umumnya akan selalu berhadapan dengan tiga tantangan penting yaitu:
1) Tantangan untuk menyediakan lapangan kerja yang cukup.
2) Tantangan untuk memberdayakan masyarakat.
3) Tantangan untuk membangun sebuah kelembagaan jaminan sosial yang akan menjamin masyarakat ketika terjadi ketegangan ekonomi (economy shock).
Sehingga untuk lebih mengefektifkan kinerja program yang telah ada, maka perlu dirancang sebuah rekomendasi kebijakan yang akan sanggup untuk mengakselerasi capaian dari program-program tersebut.
Rekomendasi Kebijakan untuk Mengatasi Kemiskinan
Pemerintahan SBY-JK dewasa ini, memberikan komitmen yang sangat serius terhadap segenap upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan. Bentuk keseriusan itu adalah dalam alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan pada kementerian dan lembaga (KL) di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada 2007 sebesar Rp25,41 triliun atau 11,05% dari total pagu indikatif KL (Rp. 230,3 triliun) . Dengan alokasi anggaran sebesar itu, pemerintah bertekad untuk mengurangi penduduk miskin sampai 14,4% pada akhir tahun 2007 .
Dalam kaitan dengan lapangan kerja, maka pemerintah pada tahun 2007 bertekad untuk menekan angka pengangguran terbuka menjadi 10,4% dari angkatan kerja, meningkatkan investasi berupa pembentukan modal tetap bruto 11,5% dan pertumbuhan industri nonmigas sebesar 8,1%, selain itu, meningkatkan penerimaan devisa negara dari pariwisata sebesar 15% . Pemerintah juga telah menyiapkan sebanyak 3,5 juta lapangan kerja baru dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM ) dalam jangka waktu 3-4 tahun kedepan . Bank Indonesia pada tahun 2007 ini, bank akan menyalurkan kredit kepada UMKM sebesar Rp 87,2 trilyun, dimana sebesar Rp 10,96 trilyun untuk kredit investasi .
Selain itu pemerintah juga telah membentuk kelembagaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tanggal 10 September 2005 . Tugas dari TKPK adalah melakukan langkah-langkah konkret untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah NKRI melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Melalui TKPK pemerintah terus mengembangkan sejumlah program nasional untuk mengurangi kemiskinan antara lain dengan program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilaksanakan antara lain P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa), UEDSP (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), IDT (Inpres Desa Tertinggal), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), PPK (Program Pengembangan Kecamatan), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), PDMDKE (Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi, P2MPD (Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), dan sejumlah program pembangunan sektoral lainnya yang diupayakan untuk memperkecil dampak krisis ekonomi dan mengurangi kemiskinan .
Untuk dapat mengakselerasi program-program kerja diatas maka setidaknya diperlukan 4 rekomendasi kebijakan sebagai berikut.
1) Sesuai dengan konsep dasar yang dikembangkan dalam makalah ini, maka rekomendasi kebijakan pertama diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dicapai dengan sinergi kebijakan yang mengakumulasi modal domestik, penanaman modal asing dan kebijakan investasi yang diarahkan pada aktifitas industri yang produktif. Program kerja yang dapat dilakukan antara lain: (1) mempercepat belanja negara yang dialokasikan pada sejumlah proyek infrastruktur dan memberdayakan usaha kecil menengah sektor-sektor produksi ; (2) mendukung dan memfasilitasi gerakan nasional penanggulangan kemiskinan dan krisis BBM melalui rehabilitasi dan reboisasi 10 juta hektar lahan kritis dengan tanaman yang menghasilkan energi pengganti BBM kepada masyarakat luas, diantaranya jarak pagar, tebu, kelapa sawit, umbi-umbian, sagu.
2) Rekomendasi kedua adalah kebijakan penguatan sistem pendidikan nasional yang berorientasi pada penciptaan lapangan kerja. Kebijakan pendidikan harus diintegrasikan dengan kebijakan yang mengatur industri, ketenagakerjaan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan dari rekomendasi kebijakan kedua ini adalah untuk mengkonversi individu miskin menjadi para wirausaha yang produktif. Rekomendasi kedua ini bersifat endogen dan diarahkan pada pemberdayaan para individu miskin. Selain itu kebijakan ini juga ditujukan untuk terus meningkatkan ketrampilan dari para individu miskin melalui peningkatan kapasitas pengetahuan yang dimilikinya. Dengan cara ini maka para individu miskin selain akan sanggup menjadi wirausaha yang produktif, juga akan sanggup untuk mengantisipasi berbagai gejolak dan perubahan ekonomi yang mengancam sektor usaha yang digelutinya.
Bentuk program kerja yang dapat dilakukan antara lain: keberadaan kredit mikro bagi para individu miskin yang dirancang dengan skema yang sedemikian sehingga memacu produktifitas dan daya saing dari individu miskin tersebut. Program ini dilakukan dengan koordinasi Bank Indonesia melalui berbagai program keuangan mikro (microfinance) bersama bank-bank pembangunan daerah (BPD) dan bank-bank perkreditan rakyat (BPR) bekerja-sama dengan lembaga-lembaga keuangan milik masyarakat seperti Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan (LDKP) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).Program kerja lainnya adalah membuka akses tanah olahan bagi para individu miskin. Untuk keberhasilan program kerja ini, diperlukan suatu kebijakan land reform yang kondusif.
3) Rekomendasi ketiga adalah kebijakan yang mengatur pembangunan suatu kelembagaan perlindungan sosial bagi warga negara. Rekomendasi ini diarahkan akan terbangunnya suatu sistem yang melindungi kelompok miskin tertentu dimasyarakat yang tidak memiliki sejumlah keterbatasan dalam akses ke lapangan kerja, seperti misalnya orang cacat dan lanjut usia. Selain itu, kebijakan ini juga menjamin adanya jaminan sosial bagi warga negara ketika terjadi ketegangan ekonomi yang luar biasa. Bentuk program kerjanya antara lain adalah jaminan asuransi, jaminan penanganan khusus untuk pemberikan kredit bagi para cacat untuk wira usaha dan regulasi lainnya terkait dengan upah minimum dan fasilitas minimum bagi para pekerja.
4) Rekomendasi keempat adalah kebijakan yang memungkinkan adanya akses untuk menyuarakan aspirasi dan pendapat dari kalangan miskin (the poor). Kebijakan ini diarahkan agar memungkinkan adanya dialog atau komunikasi dua arah antara pemerintah dan kelompok masyarakat miskin, dengan cara ini maka dapat diupayakan adanya pemahaman yang lebih baik antara kedua pihak, yang berlanjut pada penanganan masalah kemiskinan yang lebih efektif. Bentuk program kerjanya antara lain pemberdayaan lembaga TKPKRI (Perpres 54/2005) secara lebih intensif yang akan memberikan akses pada terbentuknya forum-forum masyarakat miskin yang difasilitasi oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat dan/atau memberdayakan forum-forum sejenis yang telah terbentuk.
Rekomendasi yang keempat ini cukup penting, karena kurang efektifnya sejumlah solusi masalah kemiskinan dimasa lalu adalah sehubungan belum berfungsinya dengan efektif sebuah mekanisme komunikasi interaktif yang optimal yang sanggup mentransmisikan kepentingan masyarakat miskin kedalam suatu tatanan program yang produktif.
Sehingga masyarakat miskin sering masih dianggap sebagai burden atau beban dalam suatu sistem ekonomi, adapun konsepsi dasar yang dikembangkan dalam makalah ini adalah bagaimana merubah total posisi masyarakat miskin yang tadinya sebatas beban atau burden dalam sistem ekonomi tersebut, menjadi kontributor dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya melalui perannya yang semakin aktif dalam penciptaan lapangan kerja melalui kewirausahaan (entrepreneurships).
Hal itu dapat diwujudkan jika tersedia suatu fasilitas interaksi komunikasi melalui ketersediaan forum yang memungkinkan adanya akses bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pembelajaran agar dapat meningkatkan produktifitasnya sesuai dengan kondisi mereka masing-masing.
Kesimpulan umum dari makalah ini adalah bahwa masalah kemiskinan hanya dapat diatasi dengan semakin meningkatkan utilitas dari warga negara (terutama dari kalangan miskin) melalui pembukaan segenap akses yang diperlukan agar produktifitas mereka semakin meningkat. Hal itu hanya dimungkinkan jika tersedia fasilitas yang memadai untuk tersedianya komunikasi interaktif dengan kelompok masyarakat miskin.
Konsepsi utama yang dikembangkan dalam makalah ini mengajak untuk menjadikan masalah kemiskinan sebagai masalah yang bersifat sistemik, yang harus diselesaikan melalui dua pendekatan penting. Pendekatan pertama adalah memberdayakan orang miskin untuk kemudian menjadi kontributor penting dalam pertumbuhan ekonomi, dan menjadikan tugas tersebut tugas seluruh institusi pemerintahan dan bukan kompartemen pemerintahan tertentu saja. Khususnya pada tugas kolektif untuk memberikan akses pada terbentuknya forum-forum masyarakat miskin yang difasilitasi oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat dan/atau memberdayakan forum-forum sejenis yang telah terbentuk.
Adapun pendekatan kedua adalah membangun sebuah sistem jaminan sosial nasional, yang berintikan pada suatu asuransi kolektif yang dapat menjamin seluruh masyarakat ketika terjadi ketegangan ekonomi yang luar biasa (extraordinary economic shocks).
Aktualisasi dari kedua pendekatan diatas adalah melalui keempat rekomendasi kebijakan yang ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan dengan memberikan akses yang lebih besar pada perluasan lapangan kerja yang berorientasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang seimbang

http://sarahtidaksendiri.wordpress.com/2008/03/06/upaya-negara-maju-mengantisipasi-kemiskinan/
Posted by Nurhadi Prabowo
1. Prasangka : Sikap yang negatif terhadap sesuatu. Diskriminasi : Pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara ( berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb); Etnosentrisme : Sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain. Prasangka Diskriminasi Bersumber pada suatu sikap Menunjuk pada suatu sikap Orang yang berprasangka dapat berprilaku negatif.
Contoh :
Cina sebagai kelompok minoritas, sering menjadi sasaran rasial, walaupun secara yuridis telah menjadi warga negara Indonesia dan dalam UUD 1945 Bab X Pasal 27 dinyatakan bahwa semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Akibat :
Apabila muncul suatu sikap berprasangka dan diskriminatif terhadap kelompok sosial lain, atau terhadap suku bangsa , kelompok etnis tertentu, bisa jadi akan menimbulkan pertentangan-pertentangan yang lebih luas.
Suatu contoh : Beberapa peristiwa yang semula menyangkut berapa orang saja bisa menjadi luas dan melibatkan sejumlah orang
Contoh Kerusuhan Mei 1998
2. Praktik Diskriminasi kepada etnis Cina
Praktik diskriminasi etnik telah lama dijalankan, utamanya di masa Orde Baru ( Orba)Representasi paling nyata adanya prasangka terhadap minoritas, khususnya etnik China terjadi pada Mei 1998.

3. Pernikahan beda etnik Mengenai pernikahan berbeda etnik (contoh :laki-laki Jawa dan perempuan Cina) sebagian besar mengaku tidak mendapat dukungan dari keluarga, malah sebaliknya mendapat kecaman dari keluarga. Hal itu menggambarkan bahwa masih ada keengganan untuk pernikahan 2 etnik sebagai cermin masih adanya prasangka antara 2 etnik yang bersangkutan.
4. Kebangkitan Budaya Minoritas
Tahun Baru Imlek alias Tahun Baru Cina dijadikan sebagai bagian dari hari libur Republik Indonesia . Era KH Abdurrachman Wahid merupakan penyegaran dan cahaya baru khususnya bagi etnis Tionghoa yang ada di Indonesia , setelah lebih dari 30 tahun tidak diperbolehkan menunjukkan jatidirinya sebagai suatu suku bangsa. Masih segar dalam ingatan, sebelum tahun 1998, apa saja yang berbau Cina dianggap tidak nasionalis, tidak patriotik, dan dalam banyak hal dikait-kaitkan dengan komunisme di RRC.


5. Kebangkitan Budaya Minoritas
Tapi dengan terbukanya klep ketertutupan ini pasca 1998 , perlahan kebudayaan Cina mulai kembali menunjukkan jatidirinya ditengah masyarakat Indonesia. Bahkan pada awal tahun 2000an salah satu televisi swasta terkemuka ditanah air mulai menayangkan berita berbahasa Mandarin setiap hari dengan durasi setengah jam dan berlangsung hingga kini. Aneka macam budaya Cinapun mulai kembali ditekuni seperti makin maraknya grup Barongsai yang anggotanya bukan hanya dari etnis Tionghoa, melainkan juga dari kalangan pribumi tanpa memandang asal usul dan agamanya (pendek kata kesenian Barongsai sudah menjadi milik bersama), Wushu, Kungfu dan kursus bahasa Mandarin.
6. Sebab-sebab timbulnya prasangka dan diskriminasi :
 Berlatar belakang sejarah
 Dilatarbelakangi oleh perkembangan sosio kultural dan
 situasional
 Bersumber dari faktor kepribadian
 Barlatar belakang dari perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama

7. UPAYA UNTUK MENGURANGI PRASANGKA DAN DISKRIMINASI :
 Perbaikan kondisi sosial ekonomi
 Perluasan kesempatan belajar
 Sikap terbuka dan sikap lapang
 Perbaikan kondisi social ekonomi
 Perluasan kesempatan belajar
 Sikap terbuka dan sikap lapangan
http://www.slideshare.net/choisena/discrimination-and-prejudice
Posted by Nurhadi Prabowo


Namun setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang harus dipertanggung jawabkan, manusia memiliki kedudukan yang sama dalam hukum, norma dan agama.
Masyarakat adalah sekumpulan individu yang membentuk sistem sosial tertentu dan memiliki tujuan yang ingin di capai bersama, dan hidup dalam satu wilayah tertentu, serta memiliki pemerintahan untuk mengatur tujuan kelompok atau individu dalam organisasinya. Kemudian semakin lama terbentuk suatu struktur yang jelas yaitu terbentuknya kebiasaan, cara (usage), nilai/norma dan adat istiadat. Struktur sosial yang terbentuk kemudian menyebabkan adanya spesialisasi dalam masyarakat yang mengarah terciptanya status sosial yang berbeda antar individu.
Perbedaan status sosial di masyarakat akan diikuti pula oleh perbedaan peran sesuai dengan status sosial yang melekat pada diri seseorang. Perbedaan-perbedaan inilah yang menimbulkan adanya pelapisan sosial atau yang lebih dikenal dengan stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial pada kenyataannya adalah seperangkat kerangka konseptual bagaimana memahami dan mendefinisikannya sebagai satu aspek dari organisasi sosial. Pelapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau hierarkis. Hal ini dapat di ketahui adanya kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Pelapisan sosial merupakan perbedaan tinggi rendahnya kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompoknya, dengan membandingkan dengan posisi orang atau kelompok lainnya.
Aristoteles    : Mengatakan bahwa dalm tiap-tiap negara memiliki tiga unsur yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat sekali, meraka yang berada di tengah-tengah. Prof. DR. Selo S & Soelaiman S. SH. MA: Selama di dalam masyarakat ada sesuatu yan dihargai olehnya dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya maka barang itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat.
Hubungan antara manusia dan lingkungan masyarakat pada umumnya adalah timbal balik, artinya orang-orang itu sebagai masyarakatnya mempunyai hak dan kewajiban, terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah dan negara.
Sumber : Buku Ilmu Sosial Dasar Karya Effendi Wahyono dkk
Posted by Nurhadi Prabowo
       Berbagai program penyuluhan hukum yang dilakukan selama ini terhadap masyarakat luas terutama yang berada di Desa-Desa dengan target terciptanya masyarakat sadar hukum (Kadarkum) kelihatannya sesuatu yang baik dan ideal. Namun haruslah difahami bersama bahwa kesadaran hukum masyarakat tidak identik dengan kepatuhan hukum hukum masyarakat itu sendiri.
        Kepatuhan hukum pada hakikatnya adalah “kesetian” seseorang atau subyek hukum terhadap hukum itu yang diujudkan dalam bentuk prilaku yang nyata, sedang “kesadaran hukum masyarakat” masih bersifat abstrak belum merupakan bentuk prilaku yang nyata yang mengakomodir kehendak hukum itu sendiri. Banyak diantara anggota masyarakat sebenarnya sadar akan perlunya penghormatan terhadap hukum baik secara “instinktif” maupun secara rational namun mereka cenderung tidak patuh terhadap hukum. Kebudayaan hukum yang berkembang dimasyarakat kita ternyata lebih banyak mencerminkan bentuk prilaku opportunis yang dapat diibarat mereka yang berkenderaan berlalu lintas di jalan raya, ketika lampu merah dan kebetulan tidak ada polisi yang jaga maka banyak diantara “mereka” nekat tetap jalan terus dengan tidak mengindahkan atau memperdulikan lampu merah yang sedang menyala.
        Agaknya illustrasi kasus tersebut merupakan representasi dari kebudayaan hukum di Indonesia. Sebagian besar masyarakat kita sadar akan perlunya hukum dan penghormatan terhadap hukum itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun kenyataannya masyarakat kita cenderung tidak patuh pada hukum.
       Bahwa kesadaran seseorang tentang hukum ternyata tidak serta merta membuat seseorang tersebut patuh pada hukum karena banyak indikator-indikator sosial lainnya yang mempengaruhinya. Kepatuhan hukum merupakan dependen variabel maka untuk membangun masyarakat patuh hukum perlu dicari independen variabel atau intervening variabel agar program Pemerintah yang menghendaki terciptanya masyarakat sadar hukum hasilnya dapat dilihat dalam bentuk kepatuhan masyarakat tersebut pada hukum itu sendiri, sehingga tidak diperlukan alat pemaksa (kekuasaan cq Polisi) yang membuat masyarakat takut agar mereka patuh pada hukum.
       Namun disisi lain ternyata tidak sedikit pula dalam kenyataannya para Penegak Hukum kita yang tergolong dalam catur wangsa yang dalam melakukan tugasnya menegakkan hukum terutama dalam hukum pidana materiil (KUHP dan Peraturan Perundang-undang lainnya yang mengandung sanksi pidana) justru dilakukannya dengan jalan melanggar hukum pidana formil (KUHAP dan Hukum Acara Pidana lainnya) baik itu disengaja ataupun “tidak disengaja”, kenyataan ini dapat mengindikasikan sekaligus memberi kesan kuat kepada masyarakat bahwa proses penegakan hukum di Negara kita masih dilakukan dengan setengah hati sekalipun itu di jaman era reformasi ini yang katanya mengedepankan hukum sebagai “panglima”.
Posted by Nurhadi Prabowo

Karang Taruna merupakan wadah pembinaan generasi muda yanmg berada di Desa / Kelurahan dalam bidang Usaha Kesejahteraan Sosial. Sebagai wadah pembinaan tentu saja mempunyai beberapa program yang akan dilaksanakan yang melibatkan seluruh komponen dan potensi yang ada di Desa / Kelurahan yang bersangkutan.
Sebagai Lembaga / Organisasi yang bergerak di bidang Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan berfungsi sebagai subyek. Karang Taruna sedapat mungkin mampu menunjukkan fungsi dan peranannya secara optimal.
Sebagai organisasi tentunya harus memiliki susunan pengurus dan anggota yang lengkap dan masing-masing anggota dapat melaksanakan fungsinya sesuai dengan bidang tugasnya serta dapat dapat bekerja sama dengan didukung oleh administrasi yang tertib dan teratur. Memiliki program kegiatatan yang jelas sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang ada disekitarnya Program Kegiatan Karang Taruna belangsung secara melembaga terarah dan berkesinambungan serta melibatkan seluruh unsur generasi muda yang ada.
Karang Taruna harus memiliki sarana prasarana yang memadai baik secara tertulis maupun administrasi Keberadaan Karang Taruna harus mampu menunjukkan peran dan fungsinya secara optimal di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat memberikan legetimasi dan kepercayaan kepada komponen-komponen yang lain yang sama-sama berpatisipasi dalam Pembangunan Desa / Keluraharan khususnya pembangunan dalam pembangunan dalam bidang Kesejahteraan Sosial, salah satu komponen yang berperan dalam pembangunan Desa / Kelurahan adalah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat ( LPM ).
Pemberdayaan Karang Taruna dengan program LPM dalam Usaha Kesejahteraan Sosial ( UKS ). Telah di ketahui bersama bahwa Karang Taruna sebagai organisasi sosial kepemudaan yang ada di Desa / Kelurahan mempunyai tugas pokok yaitu : bersama-sama pemerintah menangani permasalahan sosial ( Pembangunan dibidang Kesejahteraan Sosial ). Sebagai organisasi Karang Taruna mempunyai program yang disesuaikan dengan kepentingan / keadaan masyarakat Desa / Kelurahan masing-masing.
Posted by Nurhadi Prabowo
 Pemerintah Republik Indonesia akan berupaya meningkatkan hak paten batik sebagai budaya Indonesia. Saat ini baru Unesco yang mengakui batik Indonesia sebagai Representative List Intangible Cultural Heritage. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan menetapkan tanggal 2 Oktober Hari Batik Nasional. "Kedepannya pemerintah juga akan mempertahankan dan meningkatkan hak paten batik sebagai budaya Indonesia," kata Agung saat seminar Internasional Dinamika Pengembangan Batik Indonesia dan Pamaeran Batik Ikon Budaya Bangsa di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Depok, Rabu (5/10).

Dituturkan Agung, batik merupakan unsur budaya asli bangsa Indonesia. Untuk itu, sambung dia, budaya membatik perlu ditingkatkan. Tidak hanya pejabat dilingkungan pemerintah pusat yang menggunakan batik melainkan seluruh masyarakat Indonesia. "Nantinya, metode membatik juga perlu dipatenkan. Jadi, tidak hanya budaya batiknya saja yang dipatenkan," kata dia lagi.

Dalam kesempatan tersebut, Agung juga berkesempatan melihat-lihat koleksi batik yang dipamerkan. Seminar Internasional Dinamika Pengembangan Batik Indonesia dan Pamaeran Batik Ikon Budaya Bangsa yang digelar selama dua hari. Sub tema hari pertama yaitu Batik Indonesia dan Kebudayan, sedangkan hari selanjutnya adalah Batik Indonesia sebagai salah satu unsur ekonomi kreatif dan perspektif masa depan.

Secara terpisah, Kepala Kantor Komunikasi UI Vishnu Juwono mengatakan, seminar tersebut dapat mendorong batik Indonesia sebagai salah satu unsur ekonomi kreatif. "Kegiatan seminar dan pameran batik ini merupakan kerjasama FIB UI, Kementrian Perindustrian, Kemenbudpar, Kemendag, Kemendiknas, dan Yayasan Batik Indonesia," kata Vishnu.

Menurut dia, kepedulian akan budaya batik perlu ditingkatkan. Untuk itu, lanjut Vishnu, nantinya akan dibangun pusat pengkajian dan pengembangan batik Indonesia. Pasalnya, selama ini pengembangan batik terpusat di Yogyakarta. "FIB UI juga akan membangun pusat pengkajian dan pengembangan batik Indonesia. Karena selama ini kan Pusat pengembangan desain dan motif batik Indonesia di Balai Besar Kerajinan dan Batik baru ada di Yogyakarta," katanya. 


Sumber dari Buku ilmu sosial dasar 
Posted by Nurhadi Prabowo


Jakarta - Warga korban kebakaran di Kapuk Muara, Jakarta Utara, bahu membahu membangun tenda ukuran besar dan kecil. Tenda itu akan digunakan warga untuk tempat berlindung sementara dari panas dan hujan.

2 Tenda ukuran besar dan 6 tenda ukuran kecil didirikan oleh warga di lapangan sepak bola, Kapuk Muara RT 10 RW 06, Jakarta Utara, Selasa (20/4/2010). Lapangan sepak bola itu berada di 10 meter dari lokasi kebakaran.

Korban kebakaran sibuk mengamankan barang-barang mereka yang berhasil diselamatkan dari amukan si jago merah. Barang-barang itu dimasukkan ke dalam tenda. Beberapa warga juga tampak beristirahat di dalam tenda.

"Saya belum tahu tinggal di mana lagi. Untuk sementara, kami bangun tenda saja di lapangan, untuk ngadem saja. Mudah-mudahan ada bantuan tempat tinggal baru, diganti," harap Ratna (23), seorang korban kebakaran.

Sementara itu, sejumlah laki-laki memilih berjaga-jaga di sekitar rumah yang telah terbakar. Mereka masih mengais-ngais sisa-sisa kebakaran di rumahnya.

Kebakaran ini diduga akibat ledakan tabung gas 3 kg milik seorang warga. Api menghanguskan ratusan rumah. Hingga pukul 12.00 WIB, belum ada bantuan yang datang.

http://www.detiknews.com/read/2010/04/20/121713/1341780/10/korban-kebakaran-di-kapuk-muara-gotong-royong-bangun-tenda
 
Posted by Nurhadi Prabowo
Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger template by blog forum.